Kamis, 14 Agustus 2008

Kasus Pencekalan Kontraktor Batubara: Restitusi Pajak versus Royalti


Belakangan ini yang menjadi headline di beberapa surat kabar dan media internet misalnya situs resmi Direktorat Jenderal Pajak adalah cekcok antara pemerintah dan para pengusaha batubara yang berujung pada adanya pencekalan atas direksi beberapa perusahaan batubara atas permintaan Direktur Jenderal Kekayaan Negara. Pangkal masalahnya adalah penolakan kontraktor batubara untuk membayar kewajiban royaltinya dengan alasan mereka juga mempunyai tagihan kepada pemerintah berupa kelebihan pembayaran pajak. Untuk lebih memahami masalah ini saya mencoba untuk mengurai "kemungkinan" yang menjadi pokok permasalahan sebenarnya.


1. Bahwa antara kewajiban membayar royalti dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) adalah 2 hal yang sangat berbeda, dengan demikian prosesnya pun berbeda. Bahwa untuk restitusi PPN, sebelum diadakan pengembalian kelebihan pembayaran pajak terlebih dahulu para pengusaha tersebut harus membuat permohonan restitusi ke DJP untuk selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan untuk meneliti kebenaran material atas jumlah restitusi yang diminta. Jika benar maka dalam jangka waktu tertentu DJP akan mengeluarkan restitusi tersebut. Sedangkan kewajiban pembayaran royalti adalah sudah merupakan keharusan yang harus dipenuhi oleh para pengusaha batubara yang terutang pada saat batubara tersebut berada di atas kapal (FOB) atau pada saat terjual (at sale point) sebagaimana yang tercantum dalam Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang besarnya sudah menjadi pasti pada saat salah satu dari kedua even di atas terjadi.


2. bahwa berdasarkan PP144 tahun 2000, batubara yang sebelum diproses menjadi briket batubara adalah bukan barang kena pajak. Akibatnya, bahwa pajak masukan yang berkaitan dengan penambangan batubara tersebut sampai batubara tersebut dijual tidak dapat dikreditkan. Artinya lagi, kalau memang pajak masukannya tidak dapat dikreditkan, berarti tidak akan ada kelebihan pembayaran pajak (restitusi). Namun begitu, harus juga dilihat Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang telah mendapatkan persetujuan DPR dan Presdien, yang intinya menyebutkan bahwa pengenaan pajak sehubungan dengan PKP2B ini adalah menegikuti ketentuan umum perpajakan yang berlaku secara umum kecuali yang diatur secara khusus dalam PKP2B. Jadi seolah-olah memang kedudukan PKP2B ini kedudukannya lebih tinggi dibanding UU Perpajakan yang berkaitan. Akibatnya ada dua hal: a) Apabila dalam PKP2B dinyatakan secara tegas bahwa atas penyerahan batubara oleh kontraktor PKP2B tersebut dikenakan PPN, maka atas penyerahan batubara oleh kontraktor PKP2B itu tergolong penyerahan BKP sehingga kontraktor PKP2B tersebut wajib memungut PPN dan sekaligus berhak mengkreditkan Pajak Masukannya. Kalau pajak masukan yang dikreditkan lebih besar dibanding PPN yang dipungut maka kontraktor tersebut berhak atas pengembalian kelebihan pembayaran PPN atau restitusi tapi tentu saja harus melalui proses pemeriksaan terlebih dahulu. b) Namun apabila dalam PKP2B tidak menyebutkan secara tegas bahwa atas penyerahan batubara oleh kontraktor PKP2B dikenakan PPN, maka ketentuan mengenai apakah batubara merupakan BKP atau tidak harus mengikuti ketentuan perpajakan. Berdasarkan PP 144 tahun 2000, menyebutkan bahwa batubara termasuk barang yang tidak dikenakan PPN, akibatnya seperti yang dijelaskan di atas bahwa pajak masukan yang berkaitan dengan usaha batubara ini tidak dapat dikreditkan.


Berkaitan dengan poin-poin di atas bisa diambil kesimpulan:


1. Bahwa Ditjen Pajak tidak berhak menahan restitusi kontraktor batubara jika memang telah memenuhi ketentuan yang berlaku. Ketentuan yang dimaksud di sini adalah ketentuan perpajakan itu sendiri dan juga PKP2B. Jika dalam PKP2B secara tegas menyebutkan bahwa batubara adalah barang kena pajak (BKP) maka, pajak masukan yang berkaitan (jika lebih besar dibanding pajak yang dipungut) dapat dikreditkan (direstitusi). Namun jika PKP2B tidak menyebutkan secara tegas bahwa batubara adalah BKP maka harus mengikuti ketentuan perpajakan yang berlaku umum, yaitu batubara bukan BKP, sehingga pajak masukan yang berkaitan tidak dapat dikreditkan (baca: direstitusi).


2. Bahwa antara pembayaran royalti dan restitusi pajak adalah 2 hal yang berbeda, dengan kontrak yang berbeda sehingga tidak dapat diadakan offset antara kelebihan pembayaran pajak (jika memang terjadi kelebihan) dengan kewajiban kontraktor batubara untuk membayar royalti.

(diolah dari Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, Edisi Revisi 2005)

[Pic take from www.legendsofamerica.com]

Tidak ada komentar: