Rabu, 24 September 2008

Rules I Read Recently - 2

Perlakuan Selisih Kurs untuk WP yang Dikenakan PPh Final


S-75/PJ.42/2006

Berdasarkan beberapa ketentuan-ketentuan yang disebutkan dalam aturan ini, dapat diberikan penegasan bahwa berkenaan dengan laba/rugi kurs yang timbul dan pinjaman dalam mata uang asing:

  1. Atas laba/rugi kurs yang timbul dan perbedaan kurs antara tanggal pengakuan/perolehan utang dengan tanggal pelunasan/pembayarannya, sejauh menyangkut pokok utang diakui sebagai penghasilan atau biaya berdasarkan ketentuan umum.
  2. Atas laba/rugi kurs yang berasal dari translasi saldo pokok utang pada akhir tahun buku, diakui sebagai penghasilan atau biaya berdasarkan ketentuan umum.
  3. Atas rugi kurs yang berasal dari biaya bunga utang yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (sewa) yang dikenakan PPh final, tidak diakui sebagai biaya.

Rules I Read Recently - 1

Denda Administrasi PBB Ternyata Bisa Dimintai Pengurangan

Dasar Hukum:

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-6/PJ./2008, tanggal 11 Februari 2008 tentang Tata Cara pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan.

Intisari:
Direktur Jenderal Pajak atas permintaan wajib pajak dapat mengurangkan denda administrasi karena hal-hal tertentu, misalnya WP OP yang mengalami kesulitan keuangan atau WP Badan yang mengalami kesulitan likuiditas.


Minggu, 07 September 2008

Imbalan Bunga atas Putusan Banding, Urusan Siapa Sih?


Baru-baru ini saya kedatangan seorang wajib pajak yang ingin berkonsultasi. Inti permasalahannya kurang lebih sebagai berikut: Wajib pajak melakukan impor barang dari luar daeah pabean (luar negeri). Seperti lazimnya, sebagai syarat untuk dapat mengeluarkan barang tersebut dari pelabuhan, maka wajib pajak terlebih dahulu diharuskan membayar Bea Masuk, PPh Pasal 22 Impor dan PPN Impor.
Selang beberapa waktu kemudian Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menerbitkan Surat Penetapan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, PDRI, dan/atau sanksi Administrasi berupa denda (SPKPBM). Oh ya, sekedar informasi PDRI adalah singkatan dari Pajak Dalam Rangka Impor termasuk dalam PDRI ini adalah PPh Pasal 22 Impor dan PPN Impor.
Atas penerbitan SPKPBM ini, wajib pajak mengajukan keberatan kepada DJBC karena merasa semua kewajibannya telah dilaporkan sesuai keadaan yang sebenarnya (singkatnya, tidak ada praktek under invoicing) dan segala macam pungutan telah dibayarkan ke kas negara sesuai jumlah yang seharusnya. Agar dapat diproses maka wajib pajak diwajibkan terlebih dahulu untuk membayar lunas sesuai jumlah yang tertera dalam SPKPBM (catatan: tidak ada peraturan yang secara tegas mengharuskan wajib pajak agar melunasi SPKPBM sebagai prasyarat untuk mengajukan keberatan baik dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan maupun dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor: 380/KMK.05/1999). Singkat kata, dilunasilah jumlah tersebut.
Atas permohonan keberatan wajib pajak ini, DJBC menerbitkan keputusan yang menolak keberatan wajib pajak dengan alasan jumlah yang ditetapkan pemeriksa DJBC telah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Atas keputusan DJBC ini wajib pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Putusan Pengadilan Pajak atas permohonan banding wajib pajak ini ternyata diterima seluruhnya dan memerintahkan agar DJBC mengembalikan seluruh jumlah yang telah dibayarkan oleh wajib pajak atas SPKPBM di atas.
Nah pihak manakah yang seharusnya memroses proses pengembalian kelebihan pembayaran Bea Masuk, Cukai, dan segala jenis Pajak Dalam Rangka Impor yang telah dibayarkan oleh wajib pajak di atas. Kalau ini sih masih sedehana, yang jelas Bea Masuk dan Cukai adalah wewenang DJBC sehingga yang memroses pastilah DJBC. Kemudian bagaimana dengan PDRI (PPh Pasal 22 Impor dan PPN Impor), kalau yang ini seharusnya Direktorat Jenderal Pajak, namun tetap harus menunggu Surat Keputusan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Pajak dari DJBC (too much bureaucracy, don’t you think!). Mengapa? Kasihan wajib pajak yang sudah capek-capek keberatan, terus banding, eh ternyata hasil putusan banding pun tidak dapat langsung dilaksanakan. Uhuuuk. Padahal dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak jelas-jelas disebutkan pada Pasal 86 bahwa “Putusan Pengadilan Pajak langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain.” (bold typed by author). Kontradiktif ya!
Ini belum seberapa, selanjutnya pada Pasal 87 disebutkan “Apabila putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian atau seluruh Banding, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.” Pasal ini berarti bahwa wajib pajak selain harus mendapatkan pengembalian atas seluruh kelebihan bayarnya tadi, ia juga berhak mendapatkan “kompensasi” atau “ganti rugi” sebesar 2% sebulan atas jumlah kelebihan bayarnya. Di sinilah timbul permasalahan, pihak manakah yang seharusnya “dibebani” kewajiban membayar imbalan bunga tadi, DJBC-kah sebagai pihak yang “bersalah” karena menerbitkan SPKPBM ataukah DJP sebagai pihak yang mencatat segi penerimaan PDRI ini.
Pertanyaanya bagaimana sebenarnya aturan main yang berkaitan dengan imbalan bunga ini. Perlakuan imbalan bunga di DJBC terus terang saya kurang mengerti tapi kalau di DJP ada beberapa aturan yang terkait dengan masalah pemberian imbalan bunga ke wajib pajak. Beberapa hal yang kontradiktif mengapa DJP “enggan” memroses pemberian imbalan bunga dalam kasus di atas, misalnya, Pasal 27A ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, menyebutkan bahwa “Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, ... dst.” Sangat jelas di dalam pasal ini bahwa imbalan bunga “hanya” diberikan atas putusan banding yang berkaitan dengan SKPKB, SKPKBT, SKPN dan SKPLB bahkan sebelum adanya perubahan UU KUP 2007, imbalan bunga hanya diberikan kepada putusan banding yang berkaitan dengan SKPKB dan SKPKBT sahaja. Imbalan bunga yang diberikan DJP tidak menyebutkan pemberian kepada wajib pajak sehubungan putusan banding yang terkait dengan SPKPBM.
Dalam beberapa surat Direktur Jenderal Pajak yang terkait masalah di atas, misalnya beberapa contoh yang saya kutip langsung di sini (bolded by author):

S-1027/PJ.332/2004
a. Pada dasarnya Putusan Pengadilan Pajak langsung dapat dilaksanakan kecuali putusan dimaksud menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. Dalam hal ini, Kepala KPP masih harus menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak yang diperlukan pembayar pajak untuk dapat memperoleh kelebihan dimaksud.
b. Karena SPKPBM diterbitkan oleh DJBC dan Putusan Pengadilan Pajak ditujukan kepada KPBC Soekarno-Hatta II, diminta WP agar menghubungi KPBC Soekarno-Hatta II sehingga putusan Pengadilan Pajak tersebut dapat segera di laksanakan mengingat pelaksanaan putusan tersebut dibatasi jangka waktu dan kelalaian pelaksanaannya diancam sanksi kepegawaian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 88 ayat (2) dan ayat (3), Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
c. Atas Kelebihan Pembayaran PPN Impor, PPh Pasal 22 Impor beserta hak Imbalan Bunga kepada Wajib Pajak dapat diberikan oleh KPP WP Besar Dua sepanjang Direktorat Jenderal Bea Cukai menerbitkan keputusan pelaksanaan Putusan Pengadilan Pajak dan meneruskannya kepada KPP WP Besar Dua.

S-223/PJ.332/2005
a. Pengembalian kelebihan pembayaran PPh Pasal 22 Impor dan PPN Impor menjadi kewenangan Kepala KPP BUMN sepanjang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menerbitkan keputusan pelaksanaan Putusan Pengadilan Pajak dan meneruskannya kepada Kepala KPP BUMN.
b. dst...
c. Pengembalian kelebihan pembayaran PPN Impor sebagaimana dimaksud pada butir 3a diatas dilakukan sepanjang PPN Impor tersebut belum diperhitungkan sebagai kredit pajak masukan PPN dan atau dibebankan sebagai biaya dalam SPT Tahunan PPh Badan.
d. Pemberian imbalan bunga atas kelebihan pembayaran PPh Pasal 22 Impor dan PPN Impor dalam kasus ini tidak dapat diberikan mengingat tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana yang diatur di dalam pasal 27A Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000.

Kemudian yang menjadi pertanyaan bodoh saya, Undang-undang yang manakah yang harus didahulukan oleh fiskus atau petugas pajak apakah undang-undang Pengadilan Pajak ataukah Undang KUP jika ternyata keduanya kebetulan bertentangan ataukah yang satu terlalu umum sedangkan yang lainnya terlalu spesifik. Atau jika mungkin pertanyaannya salah saya akan coba bertanya lagi, yang manakah yang harus diutamakan mengamankan penerimaan negara atau memberikan pelayanan yang terbaik ke wajib pajak?. Terkadang memang dua tujuan yang sama-sama baik belum tentu seiring.

[Pic taken from http://diligentsia.net/]