Kamis, 18 Desember 2008

Antara Norma, Pencatatan, dan Pembukuan


Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak yang Dapat Menghitung Penghasilan Neto dengan Menggunakan Norma Penghitungan


Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor: Kep-536/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000

Berikut ini akan kutipan beberapa ketentuan yang tercantum dalam Keputusan Dirjen Pajak ini:

Pasal 1
(1) Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto sebesar Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pembukuan. [berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor: 01/PMK.03/2007 tanggal 16 Januari 2007, untuk tahun pajak mulai 2007, batasannya menjadi Rp. 1.800.000.000 (satu milyar delapan ratus juta rupiah)
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto di bawah Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali Wajib Pajak yang bersangkutan memilih menyelenggarakan Pembukuan.
(3) Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memilih untuk menyelenggarakan pembukuan, menghitung penghasilan neto usaha atau pekerjaan bebasnya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Pasal 2
(1) Wajib Pajak yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan.
(2) Pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
(3) Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.


Beberapa hal yang perlu dikritisi (bukan dikritik lho!) dari butir-butir ketentuan yang diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak ini. Pada Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa bagi wajib pajak orang pribadi (WPOP) dengan peredaran bruto di bawah Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah) tentu saja dalam setahun, wajib menyelenggarakan pencatatan. Kesimpulan sederhana yang langsung dapat kita tarik dari klausula tersebut adalah Dirjen Pajak mewajibkan agar WPOP yang yang mempunyai peredaran bruto dibawah batasan di atas wajib pula menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (selanjutnya disebut norma saja). Iya nggak! Namun, tentu saja, wajib pajak mempunyai opsi lain jika memilih tidak menyelenggarakan pencatatan yaitu menyelenggarakan pembukuan sebagaimana ketentuan selanjutnya dalam Pasal dan ayat yang sama. Masih belum ngerti juga? Oke! Dikarenakan Dirjen Pajak pajak mewajibkan pencatatan (bagi WPOP yang berada dalam batasan omset di atas) maka kita berasumsi bahwa Dirjen Pajak mewajibkan penggunaan norma, karena satu-satunya cara untuk menghitung jumlah pajak penghasilan orang pribadi terutang adalah dengan cara mengalikan peredaran bruto suatu WPOP dengan tarif norma yang sesuai dengan klasifikasi lapangan usaha (KLU) WPOP tersebut (Daftar tarif dapat dilihat pada lampiran Keputusan Dirjen Pajak ini). Namun, lagi-lagi penggunaan norma ini tidak bisa diterapkan jika WPOP ternyata memilih opsi menggunakan pembukuan.
Selanjutnya pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa WPOP yang menggunakan norma wajib memberitahukan penggunaan norma ini kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat 3 (tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan. Di sini nih, muncul hal yang “aneh”, di satu sisi Dirjen Pajak mewajibkan penggunaan pencatatan (dan norma) namun di pihak lain Dirjen Pajak kok mewajibkan agar WPOP memberitahukan ke Dirjen Pajak jika ingin menggunakan norma. Ini sama saja kalau mau dianalogikan seperti jika Dirjen Pajak mewajibkan pembayaran PPh Pasal 25 pada setiap tanggal 15 bulan berikutnya dari suatu masa pajak namun ditambahi klausul bahwa wajib pajak harus memberitahukan ke Dirjen Pajak paling lambat 3 (tiga) hari awal masa pajak yang bersangkutan bahwa wajib pajak akan mengikuti "perintah" Dirjen Pajak ini atau kalau tidak ada pemberitahuan maa wajib pajak dianggap akan membayar setelah lewat tanggal 15. Kan aneh, urgensinya apa? Toh sederhanya jika sudah ada ketentuan mengenai kewajiban pencatatan, namun ternyata wajib pajak tidak melaksanakan yah terpaksa pajaknya ditetapkan secara jabatan.
Selanjutnya lagi pada Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa pemberitahuan yang disampaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan dianggap disetujui. Ini juga merupakan hal yang aneh, namanya pemberitahuan yang nggak perlu disetujui atau nggak. Pemberitahuan itu komunikasi yang sifatnya satu arah (one way communication), bukan seperti permohonan yang memerlukan respon berupa persetujuan atau penolakan.
Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat (3) disebutkan bahwa WPOP yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. Ini sama saja, kembali lagi ke argumen-argumen di atas.

Jadi seharusnya gimana dong ketentuan yang benar (menurut saya)? Kalau sekedar rephrase dari ketentuan tersebut di atas maka akan seharusnya ketentuan tersebut bunyinya menjadi seperti ini:

Pasal 1
(1) Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto sebesar Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pembukuan. [berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor: 01/PMK.03/2007 tanggal 16 Januari 2007, untuk tahun pajak mulai 2007, batasannya menjadi Rp. 1.800.000.000 (satu milyar delapan ratus juta rupiah)
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto di bawah Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dapat memilih wajib untuk menyelenggarakan pencatatan. , kecuali Wajib Pajak yang bersangkutan memilih menyelenggarakan Pembukuan.
(3) Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memilih untuk menyelenggarakan pembukuan pencatatan, menghitung penghasilan neto usaha atau pekerjaan bebasnya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Pasal 2
(1) Wajib Pajak yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan.
(2) Pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
(3) Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.

Gimana any comment?

[Pic taken from http://koleksikasetindonesia.blogspot.com/2007/03/album-penyanyi-wanita.html]

Rabu, 24 September 2008

Rules I Read Recently - 2

Perlakuan Selisih Kurs untuk WP yang Dikenakan PPh Final


S-75/PJ.42/2006

Berdasarkan beberapa ketentuan-ketentuan yang disebutkan dalam aturan ini, dapat diberikan penegasan bahwa berkenaan dengan laba/rugi kurs yang timbul dan pinjaman dalam mata uang asing:

  1. Atas laba/rugi kurs yang timbul dan perbedaan kurs antara tanggal pengakuan/perolehan utang dengan tanggal pelunasan/pembayarannya, sejauh menyangkut pokok utang diakui sebagai penghasilan atau biaya berdasarkan ketentuan umum.
  2. Atas laba/rugi kurs yang berasal dari translasi saldo pokok utang pada akhir tahun buku, diakui sebagai penghasilan atau biaya berdasarkan ketentuan umum.
  3. Atas rugi kurs yang berasal dari biaya bunga utang yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (sewa) yang dikenakan PPh final, tidak diakui sebagai biaya.

Rules I Read Recently - 1

Denda Administrasi PBB Ternyata Bisa Dimintai Pengurangan

Dasar Hukum:

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-6/PJ./2008, tanggal 11 Februari 2008 tentang Tata Cara pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan.

Intisari:
Direktur Jenderal Pajak atas permintaan wajib pajak dapat mengurangkan denda administrasi karena hal-hal tertentu, misalnya WP OP yang mengalami kesulitan keuangan atau WP Badan yang mengalami kesulitan likuiditas.


Minggu, 07 September 2008

Imbalan Bunga atas Putusan Banding, Urusan Siapa Sih?


Baru-baru ini saya kedatangan seorang wajib pajak yang ingin berkonsultasi. Inti permasalahannya kurang lebih sebagai berikut: Wajib pajak melakukan impor barang dari luar daeah pabean (luar negeri). Seperti lazimnya, sebagai syarat untuk dapat mengeluarkan barang tersebut dari pelabuhan, maka wajib pajak terlebih dahulu diharuskan membayar Bea Masuk, PPh Pasal 22 Impor dan PPN Impor.
Selang beberapa waktu kemudian Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menerbitkan Surat Penetapan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, PDRI, dan/atau sanksi Administrasi berupa denda (SPKPBM). Oh ya, sekedar informasi PDRI adalah singkatan dari Pajak Dalam Rangka Impor termasuk dalam PDRI ini adalah PPh Pasal 22 Impor dan PPN Impor.
Atas penerbitan SPKPBM ini, wajib pajak mengajukan keberatan kepada DJBC karena merasa semua kewajibannya telah dilaporkan sesuai keadaan yang sebenarnya (singkatnya, tidak ada praktek under invoicing) dan segala macam pungutan telah dibayarkan ke kas negara sesuai jumlah yang seharusnya. Agar dapat diproses maka wajib pajak diwajibkan terlebih dahulu untuk membayar lunas sesuai jumlah yang tertera dalam SPKPBM (catatan: tidak ada peraturan yang secara tegas mengharuskan wajib pajak agar melunasi SPKPBM sebagai prasyarat untuk mengajukan keberatan baik dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan maupun dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor: 380/KMK.05/1999). Singkat kata, dilunasilah jumlah tersebut.
Atas permohonan keberatan wajib pajak ini, DJBC menerbitkan keputusan yang menolak keberatan wajib pajak dengan alasan jumlah yang ditetapkan pemeriksa DJBC telah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Atas keputusan DJBC ini wajib pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Putusan Pengadilan Pajak atas permohonan banding wajib pajak ini ternyata diterima seluruhnya dan memerintahkan agar DJBC mengembalikan seluruh jumlah yang telah dibayarkan oleh wajib pajak atas SPKPBM di atas.
Nah pihak manakah yang seharusnya memroses proses pengembalian kelebihan pembayaran Bea Masuk, Cukai, dan segala jenis Pajak Dalam Rangka Impor yang telah dibayarkan oleh wajib pajak di atas. Kalau ini sih masih sedehana, yang jelas Bea Masuk dan Cukai adalah wewenang DJBC sehingga yang memroses pastilah DJBC. Kemudian bagaimana dengan PDRI (PPh Pasal 22 Impor dan PPN Impor), kalau yang ini seharusnya Direktorat Jenderal Pajak, namun tetap harus menunggu Surat Keputusan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Pajak dari DJBC (too much bureaucracy, don’t you think!). Mengapa? Kasihan wajib pajak yang sudah capek-capek keberatan, terus banding, eh ternyata hasil putusan banding pun tidak dapat langsung dilaksanakan. Uhuuuk. Padahal dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak jelas-jelas disebutkan pada Pasal 86 bahwa “Putusan Pengadilan Pajak langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain.” (bold typed by author). Kontradiktif ya!
Ini belum seberapa, selanjutnya pada Pasal 87 disebutkan “Apabila putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian atau seluruh Banding, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.” Pasal ini berarti bahwa wajib pajak selain harus mendapatkan pengembalian atas seluruh kelebihan bayarnya tadi, ia juga berhak mendapatkan “kompensasi” atau “ganti rugi” sebesar 2% sebulan atas jumlah kelebihan bayarnya. Di sinilah timbul permasalahan, pihak manakah yang seharusnya “dibebani” kewajiban membayar imbalan bunga tadi, DJBC-kah sebagai pihak yang “bersalah” karena menerbitkan SPKPBM ataukah DJP sebagai pihak yang mencatat segi penerimaan PDRI ini.
Pertanyaanya bagaimana sebenarnya aturan main yang berkaitan dengan imbalan bunga ini. Perlakuan imbalan bunga di DJBC terus terang saya kurang mengerti tapi kalau di DJP ada beberapa aturan yang terkait dengan masalah pemberian imbalan bunga ke wajib pajak. Beberapa hal yang kontradiktif mengapa DJP “enggan” memroses pemberian imbalan bunga dalam kasus di atas, misalnya, Pasal 27A ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, menyebutkan bahwa “Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, ... dst.” Sangat jelas di dalam pasal ini bahwa imbalan bunga “hanya” diberikan atas putusan banding yang berkaitan dengan SKPKB, SKPKBT, SKPN dan SKPLB bahkan sebelum adanya perubahan UU KUP 2007, imbalan bunga hanya diberikan kepada putusan banding yang berkaitan dengan SKPKB dan SKPKBT sahaja. Imbalan bunga yang diberikan DJP tidak menyebutkan pemberian kepada wajib pajak sehubungan putusan banding yang terkait dengan SPKPBM.
Dalam beberapa surat Direktur Jenderal Pajak yang terkait masalah di atas, misalnya beberapa contoh yang saya kutip langsung di sini (bolded by author):

S-1027/PJ.332/2004
a. Pada dasarnya Putusan Pengadilan Pajak langsung dapat dilaksanakan kecuali putusan dimaksud menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. Dalam hal ini, Kepala KPP masih harus menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak yang diperlukan pembayar pajak untuk dapat memperoleh kelebihan dimaksud.
b. Karena SPKPBM diterbitkan oleh DJBC dan Putusan Pengadilan Pajak ditujukan kepada KPBC Soekarno-Hatta II, diminta WP agar menghubungi KPBC Soekarno-Hatta II sehingga putusan Pengadilan Pajak tersebut dapat segera di laksanakan mengingat pelaksanaan putusan tersebut dibatasi jangka waktu dan kelalaian pelaksanaannya diancam sanksi kepegawaian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 88 ayat (2) dan ayat (3), Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
c. Atas Kelebihan Pembayaran PPN Impor, PPh Pasal 22 Impor beserta hak Imbalan Bunga kepada Wajib Pajak dapat diberikan oleh KPP WP Besar Dua sepanjang Direktorat Jenderal Bea Cukai menerbitkan keputusan pelaksanaan Putusan Pengadilan Pajak dan meneruskannya kepada KPP WP Besar Dua.

S-223/PJ.332/2005
a. Pengembalian kelebihan pembayaran PPh Pasal 22 Impor dan PPN Impor menjadi kewenangan Kepala KPP BUMN sepanjang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menerbitkan keputusan pelaksanaan Putusan Pengadilan Pajak dan meneruskannya kepada Kepala KPP BUMN.
b. dst...
c. Pengembalian kelebihan pembayaran PPN Impor sebagaimana dimaksud pada butir 3a diatas dilakukan sepanjang PPN Impor tersebut belum diperhitungkan sebagai kredit pajak masukan PPN dan atau dibebankan sebagai biaya dalam SPT Tahunan PPh Badan.
d. Pemberian imbalan bunga atas kelebihan pembayaran PPh Pasal 22 Impor dan PPN Impor dalam kasus ini tidak dapat diberikan mengingat tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana yang diatur di dalam pasal 27A Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000.

Kemudian yang menjadi pertanyaan bodoh saya, Undang-undang yang manakah yang harus didahulukan oleh fiskus atau petugas pajak apakah undang-undang Pengadilan Pajak ataukah Undang KUP jika ternyata keduanya kebetulan bertentangan ataukah yang satu terlalu umum sedangkan yang lainnya terlalu spesifik. Atau jika mungkin pertanyaannya salah saya akan coba bertanya lagi, yang manakah yang harus diutamakan mengamankan penerimaan negara atau memberikan pelayanan yang terbaik ke wajib pajak?. Terkadang memang dua tujuan yang sama-sama baik belum tentu seiring.

[Pic taken from http://diligentsia.net/]

Kamis, 14 Agustus 2008

Kasus Tiwul Armada: Sudah Bayar Pajak atau Sudah Dipotong Pajak


Dalam salah satu acara reality talk show, sang empunya acara, Tiwul Armada dengan gayanya yang khas berkata bahwa dia selalu bayar pajak. Katanya tiap kali ia menerima honorarium pasti sudah dipotong pajak oleh stasiun tivi, tapi lanjutnya lagi, kok orang pajak masih aja ngejar-ngejar dia untuk bayar pajak. Kenapa bisa begitu? Siapanya yang salah, apa orang pajak gak tau kalo Tiwul itu artis terkenal jadi kalo ia mendapat penghasilan dari stasiun tivi pasti udah dipotong PPh Pasal 21 dong. Masak sih orang pajak gak tau?

Kalau yang melihat masyarakat yang 'kurang femiliar (meminjam istilah Tiwul)' dengan pajak, pasti deh yang disalahin orang pajaknya. Dasar orang pajak, gak bisa liat orang seneng dikit langsung deh nagihin pajaknya. Tapi dari pihak orang pajak sendiri atau orang yang ngerti pajak ngomongnya mungkin saja, Tiwul kalo bayar pajak sih bayar, cuma bayarnya berapa udah benar apa belum. Ngaku-ngaku udah bayar pajak tapi yang dibayar cuma sejetong padahal harusnya seratus jetong. Ya podo bae!

Enuff prolog! Kalo saya melihatnya sih, si Tiwul juga gak salah-salah amat, orang pajaknya sendiri ngejar-ngejar si Tiwul juga gak salah-salah amat. Harus malah. Dalam persepsi Tiwul, bahwa dia selalu bayar pajak, MUNGKIN yang dimaksudnya adalah bahwa atas penghasilan dia selalu dipotong pajak. Misalnya Tiwul mendapatkan penghasilan dari stasiun tivi atau production house (PH) atas jasa host di acara Ampe Mato. Stasiun tivi atau PH seharusnya memang memotong PPh Pasal 21 atas honorarium Tiwul tadi. Masalahnya berapa besarnya (persen) yang harusnya dipotong. Berapa persen di sini nih yang masih rancu, karena masih banyak pemotong pajak (ie. stasiun tivi n PH) yang belum paham benar aturan perpajakan khususnya mengenai besarnya persentase dan dasar pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan Tiwul tadi. Tapi saya akan menghindari penulisan angka dalam post saya ini, jadi teknisnya gak akan saya bahas (yang berminat membahas ini lebih jauh pls email saya). KEMUNGKINAN (capital letter used to stress) yang terjadi adalah jumlah yang dipotong masih (jauh) lebih kecil dari yang seharusnya Tiwul bayar. Hal ini disebabkan:
1. sifat tarif pajak penghasilan yang progresif,
2. pemotong pajak kesulitan untuk keeping record atas penghasilan yang dibayarkannya (mis. ke Tiwul),
3. Penghasilan Tiwul berasal dari bermacam-macam pemberi kerja di mana tiap pemberi kerja memotong PPh Pasal 21 dimulai dari tarif lapisan pertama, which is 5%.

Jadi dalam hal pemberi kerja lebih dari satu atau istilah kasarnya, tempat bekerja lebih dari satu, selalu ada perbedaan antara jumlah yang dipotong dengan jumlah yang seharusnya dibayar. Dan jumlah yang dipotong pasti selalu lebih kecil dari jumlah yang seharusnya dibayar. Dalam kasus Tiwul tadi SPT Tahunan Tiwul seharusnya berstatus kurang bayar atau ada kewajiban untuk membayar PPh Pasal 29. Kekurangan inilah yang (sekali lagi MUNGKIN) "dikejar-kejar" oleh aparat pajak.

Kasus Pencekalan Kontraktor Batubara: Restitusi Pajak versus Royalti


Belakangan ini yang menjadi headline di beberapa surat kabar dan media internet misalnya situs resmi Direktorat Jenderal Pajak adalah cekcok antara pemerintah dan para pengusaha batubara yang berujung pada adanya pencekalan atas direksi beberapa perusahaan batubara atas permintaan Direktur Jenderal Kekayaan Negara. Pangkal masalahnya adalah penolakan kontraktor batubara untuk membayar kewajiban royaltinya dengan alasan mereka juga mempunyai tagihan kepada pemerintah berupa kelebihan pembayaran pajak. Untuk lebih memahami masalah ini saya mencoba untuk mengurai "kemungkinan" yang menjadi pokok permasalahan sebenarnya.


1. Bahwa antara kewajiban membayar royalti dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) adalah 2 hal yang sangat berbeda, dengan demikian prosesnya pun berbeda. Bahwa untuk restitusi PPN, sebelum diadakan pengembalian kelebihan pembayaran pajak terlebih dahulu para pengusaha tersebut harus membuat permohonan restitusi ke DJP untuk selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan untuk meneliti kebenaran material atas jumlah restitusi yang diminta. Jika benar maka dalam jangka waktu tertentu DJP akan mengeluarkan restitusi tersebut. Sedangkan kewajiban pembayaran royalti adalah sudah merupakan keharusan yang harus dipenuhi oleh para pengusaha batubara yang terutang pada saat batubara tersebut berada di atas kapal (FOB) atau pada saat terjual (at sale point) sebagaimana yang tercantum dalam Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang besarnya sudah menjadi pasti pada saat salah satu dari kedua even di atas terjadi.


2. bahwa berdasarkan PP144 tahun 2000, batubara yang sebelum diproses menjadi briket batubara adalah bukan barang kena pajak. Akibatnya, bahwa pajak masukan yang berkaitan dengan penambangan batubara tersebut sampai batubara tersebut dijual tidak dapat dikreditkan. Artinya lagi, kalau memang pajak masukannya tidak dapat dikreditkan, berarti tidak akan ada kelebihan pembayaran pajak (restitusi). Namun begitu, harus juga dilihat Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang telah mendapatkan persetujuan DPR dan Presdien, yang intinya menyebutkan bahwa pengenaan pajak sehubungan dengan PKP2B ini adalah menegikuti ketentuan umum perpajakan yang berlaku secara umum kecuali yang diatur secara khusus dalam PKP2B. Jadi seolah-olah memang kedudukan PKP2B ini kedudukannya lebih tinggi dibanding UU Perpajakan yang berkaitan. Akibatnya ada dua hal: a) Apabila dalam PKP2B dinyatakan secara tegas bahwa atas penyerahan batubara oleh kontraktor PKP2B tersebut dikenakan PPN, maka atas penyerahan batubara oleh kontraktor PKP2B itu tergolong penyerahan BKP sehingga kontraktor PKP2B tersebut wajib memungut PPN dan sekaligus berhak mengkreditkan Pajak Masukannya. Kalau pajak masukan yang dikreditkan lebih besar dibanding PPN yang dipungut maka kontraktor tersebut berhak atas pengembalian kelebihan pembayaran PPN atau restitusi tapi tentu saja harus melalui proses pemeriksaan terlebih dahulu. b) Namun apabila dalam PKP2B tidak menyebutkan secara tegas bahwa atas penyerahan batubara oleh kontraktor PKP2B dikenakan PPN, maka ketentuan mengenai apakah batubara merupakan BKP atau tidak harus mengikuti ketentuan perpajakan. Berdasarkan PP 144 tahun 2000, menyebutkan bahwa batubara termasuk barang yang tidak dikenakan PPN, akibatnya seperti yang dijelaskan di atas bahwa pajak masukan yang berkaitan dengan usaha batubara ini tidak dapat dikreditkan.


Berkaitan dengan poin-poin di atas bisa diambil kesimpulan:


1. Bahwa Ditjen Pajak tidak berhak menahan restitusi kontraktor batubara jika memang telah memenuhi ketentuan yang berlaku. Ketentuan yang dimaksud di sini adalah ketentuan perpajakan itu sendiri dan juga PKP2B. Jika dalam PKP2B secara tegas menyebutkan bahwa batubara adalah barang kena pajak (BKP) maka, pajak masukan yang berkaitan (jika lebih besar dibanding pajak yang dipungut) dapat dikreditkan (direstitusi). Namun jika PKP2B tidak menyebutkan secara tegas bahwa batubara adalah BKP maka harus mengikuti ketentuan perpajakan yang berlaku umum, yaitu batubara bukan BKP, sehingga pajak masukan yang berkaitan tidak dapat dikreditkan (baca: direstitusi).


2. Bahwa antara pembayaran royalti dan restitusi pajak adalah 2 hal yang berbeda, dengan kontrak yang berbeda sehingga tidak dapat diadakan offset antara kelebihan pembayaran pajak (jika memang terjadi kelebihan) dengan kewajiban kontraktor batubara untuk membayar royalti.

(diolah dari Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, Edisi Revisi 2005)

[Pic take from www.legendsofamerica.com]

Kasus Pajak Selebritis


Berikut ini cuplikan berita yang saya ambil dari MSNBC News Services mengenai kasus pajak aktor Wesley Snipes, yang menunjukkan betapa seriusnya suatu pelanggaran pajak.

Wesley Snipes sentenced to 3 years in prison
In my mind these are serious crimes, albeit misdemeanors,’ judge says
MSNBC News Services
updated 9:27 p.m. ET April 24, 2008

OCALA, Fla. - Wesley Snipes called on famous friends to vouch for him, highlighted his clean criminal record and even wrote the government $5 million in checks — all in an effort to convince a judge that his conviction on tax charges should cost him nothing more than home detention and some public service announcements.
None of it worked. The “Blade” actor was ordered to do hard time.
Snipes was sentenced to three years in prison Thursday for failing to file tax returns, the maximum penalty — and a victory for prosecutors who sought to make an example of the action star.


Di Amerika Serikat, sudah banyak selebriti yang tersangkut kasus pajak. Dan hukumannya pun tidak lagi menyangkut urusan perdata saja tapi selalu menyangkut pidana. Urusan tidak akan selesai walaupun para selebiriti itu akhirnya membayar pajak berikut denda yang menjadi kewajibannya. Selebriti dianggap sebagai public figure yang dapat dijadikan contoh oleh semua orang. Kasus Wesley Snipes di atas, sekali lagi menunjukkan bahwa pelanggaran pajak akan membawa akibat yang tidak main-main.
Selain kasus Wesley Snipes, para pesohor lain yang pernah tersangkut masalah pajak adalah Patrick Mc Enroe, Peter Graff (ayah Steffi Graff), Boris Becker, Britney Spears, Paul "Croccodile Dundee" Hogan, dan masih banyak lagi yang lain.
Untuk kasus Snipes ini, hakim memutuskan 3 tahun penjara dan juga membayar kekurangan pajak yang diperkirakan bernilai jutaan us dollar. Mengapa sampai ada hukuman penjara padahal dari pihak Snipes sendiri sudah bersedia untuk membayar kekurangan plus denda yang ditetapkan? Bahkan di sidang pun, Snipes sendiri mengaku bahwa tindakannya bukanlah kesengajaan untuk menggelapkan pajak, itu hanya akibat ketidaktahuannya akan hukum dan keuangan (unschooled in the science of law and finance). Namun bagi hakim yang memutuskan, ini adalah pelanggaran berat, tindak kriminal serius, bukan sekedar pelanggaran ringan akibat ketidaktahuan.

Membayar pajak memang bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Siapa sih yang mau membayar pajak secara rela, tulus, dan tidak mengharapkan imbalan secara langsung. Pajak itu ibarat rampok yang mengambil duit kita, melalui perantaraan negara atas nama hukum atau undang-undang. Namun, terpaksa kita harus menyadari bahwa membayar pajak adalah kewajiban kita sebagai konsekuensi hidup dalam lingkungan masyarakat yang beradab. Coba kita bayangkan, kalo saja kita tidak harus membayar pajak, kita kecurian, lapornya kemana? Gak ke polisi dong, wong kita gak bayar pajak jadinya ya gak ada polisi. Terpaksa, kita larinya ke private investigator (detektif swasta). Kita ke mall naik mobil atau motor, ya gak bisa dong, wong jalan aja gak ada, kalaupun ada, mobil ama motor gak bisa liwat kan berlubang dan berlumpur, bau lagi. Anak mau sekolah, jangan harap kalo tidak masuk dalam 20% penduduk Indonesia terkaya, sekolah kan swasta semua, gak ada subsidi, semuanya mahal, namanya juga swasta, sekolah negeri gak ada soalnya. Mana ada sih swasta yang murah.
Trus ada yang bilang, ada polisi gak ada polisi sama aja, tetap ajak kita merasa gak nyaman n aman, ada sekolah negeri juga tetap mahal, jalan-jalan juga tetap pada rusak. Nah kalo ini masalahnya, ini sudah rada-rada jauh menyimpang dari pokok permasalahan. Kembali lagi ke yang tadi, mo bayar pajak nggak? Kalo nggak, yang pasti gak bakalan ada jalan aspal yang bolong di sana-sini, wong gak ada jalan. Kalo nggak bayar pajak, yang pasti gak bakalan ada sekolah negeri yang mahal, wong sekolah swasta semua. Kalo nggak bayar pajak, gak bakalan ada tuh laporan ke polisi yang nggak diproses, wong polisi gak ada, gimana nerima laporannya. Iu aja mutar-mutar. Ha...Ha

Trus apa hubungannya Wesley Snipes di atas dengan jalan berlubang, polisi ama sekolah negeri. Ya kalo hubungan langsung sih gak ada, tapi maksud saya, adalah membayar pajak itu suatu KEHARUSAN!! Kenapa!
1. Pajak adalah konsekuensi karena kita hidup di dalam masyarakat yang beradab, bukan di hutan.
2. Pajak adalah wujud ketidakegoisan kita, maksudnya apa kita gak malu apa, make jalan, make penerangan listrik, make air, tapi gak mau bayar pajak. Lu kate jalan yang bangun engkong lu apa?, lu kate lu bayar listrik seiprit gitu tanpa subsidi dari duit pajak apa!
3. Pajak adalah wujud kepedulian kita untuk hidup bernegara secara lebih baik lagi. Kita gak bisa berharap bahwa kita itu seperti Singapura, Malaysia, dan negara mana saja yang dengan sombongnya kita jadikan contoh. Anggaplah negara kita ini sedang belajar, dan kalo sedang belajar ada baiknya diawasi bukan dicueki seraya apatis, bukan dianggap negara kita bodoh, ideot, ato apalah, nanti ideot beneran lho. Kalo ideot beneran artinya gak beradab, gak perlu bayar pajak dong. Horeee...
Trus ada yang bilang percuma bayar pajak, ntar juga paling dikorupsi ama bapak-ibu pejabat. Kalau pejabat meng-korupsi duit pajak yang kita bayarkan, ya pejabat itu yang melangar hukum. Jangan sampai kita bilangin orang korupsi tapi kita sendiri gak bayar pajak (btw, gak bayar pajak namanya KORUPSI juga lho).

BAYAR PAJAKNYA AWASI PENGGUNAANNYA

[Pic taken from http://www.cheekopek.com/]

Rabu, 13 Agustus 2008

Pajak atas Warisan sebagai Sarana Redistribusi Kekayaan

Kenapa Paris? Kok gambarnya Paris ya, apa hubungannya dengan tulisan ini? Ok, pertama Paris Hilton adalah cucu dari pemilik salah satu hotel chain terbesar di jagat ini, Hotel Hilton. Sang kakek, Patriarch Barron Hilton disebut-sebut akan mewariskan kurang lebih 100 juta US Dollar atau sekitar 900 milyar Rupiah untuk si cucu Paris. Kebayang gak sih untuk orang seumur Paris trus punya duit sebanyak itu, apa gak ngerusak tuh (already)? Kalo misalnya, Paris itu orang Kebumen, maka berapapun yang ia warisi, di jamin akan free of tax. Tapi kalo misalnya ia orang Australia, Jepang, atau Amrik, jangan harap ia bisa menikmati 900 M bulat tadi, karena pasti ia akan dibebani salah satu jenis pajak atas transfer kekayaan, kalo di luar sana namanya bisa estate tax bisa juga inheritance tax. Kedua nama tidak persis sama penerapannya, tapi okelah biar gampang untuk tulisan ini kita anggap sama aja kedua istilah ini. Tulisan ini bermaksud membahas mengapa pajak warisan perlu juga diterapin di Indonesia?

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id), pada Maret 2007 terdapat 37,17 juta penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemisikinan) atau sekitar 16,58 persen dari total jumlah penduduk di Indonesia. Sebahagian besar atau sekitar 63,52 persen penduduk miskin ini berada di perdesaan. Sementara laporan Forbes Asia menyebutkan 40 orang terkaya Indonesia mempunyai total kekayaan sebesar 40 milliar USD atau sekitar 400 triliun Rupiah atau hampir sama dengan realisasi penerimaan pajak tahun 2007 yang sebesar 426,23 triliun Rupiah. Suatu jumlah yang fantastis. Jurang antara kaya dan miskin semakin melebar, hal ini tentu saja tidak terjadi di Indoensia saja. Namun, terdapat kecenderungan bahwa jurang ini semakin lebar pada negara-negara yang sedang berkembang. Pajak sebagai salah satu instrumen ekonomi mempunyai 2 (dua) fungsi utama yaitu, fungsi budget yaitu mewujudkan kemandirian APBN dalam membiayai keperluan pengeluaran negara dalam menjalankan fungsinya dan fungsi regulasi yaitu memastikan bahwa terjadi pembagian yang merata atas penghasilan dan kesejahteraan.
Selama periode kenaikan harga minyak, ujung-ujungnya akan turut memperbesar subsidi yang harus ditanggung pemerintah. Sudah menjadi tugas otoritas perpajakan di Indonesia untuk mencari sumber pembiayaan baru yang diharapkan dapat menutupi ongkos subsidi yang ditanggung pemerintah dan juga beban APBN yang setiap tahun bertambah.

Salah satu jenis pajak atas transfer kekayaan yang sudah sering menjadi perdebatan di berbagai kalangan adalah pajak atas warisan. Walaupun di Indonesia pajak warisan belum pernah diberlakukan tetapi di berbagai negara maju, pajak warisan sudah lama berlaku dengan metode pengenaan yang berbeda-beda. Tulisan ini akan membahas kemungkinan penerapan pajak warisan dalam perpajakan Indonesia.

Bagi yang menentang, pajak atas warisan dianggap sesuatu yang tidak bermoral dan merupakan contoh penerapan pajak berganda. Bagi yang mendukungnya pajak atas warisan dianggap sebagai salah satu sarana konkrit untuk meredistribusi kekayaan secara lebih merata di antara individu dalam suatu negara. Dalam kasus Indonesia, sebagaimana telah disebutkan di atas, jumlah masyrakat yang hidup di bawah garis kemiskinan (walaupun jumlah pastinya masih menjadi polemik) masih sangat besar, sementara di lain pihak terdapat sekelompok orang atau keluarga terkaya di Indonesia mempunyai kekayaan yang sangat berlimpah.

Terdapat beberapa alasan yang digunakan oleh penentang untuk menolak pemberlakuan pajak warisan sebagaimana dapat dirangkum berikut ini:

1.
bahwa sebahagian besar kesejahteraan diperoleh melalui hasil kerja keras individu bukannya dari warisan, sehingga tujuan agar pajak warisan dapat meredistribusi kekayaan tidak tercapai.
2.
Bahwa kekayaan saat ini sangatlah mobile sehingga menjadi suatu upaya yang sia-sia untuk mengawasinya. Ujung-ujungnya malah menimbulkan ketidakadilan dalam hal pemajakannya.
3.
Pajak atas warisan akan menjadi disinsentif bagi individu untuk mengakumulasi kekayaan (penciptaan modal) melalui kerja keras, investasi dan tabungan.
4.
Melalui perencanaan pajak yang rumit dan mahal, pajak warisan dapat di-manage (baca:diakali) sehingga meminimalisir beban pajak. Hal ini dapat dilakukan oleh individu yang sangat kaya, sehingga beban pajak secara relatif yang akan ditanggung kalangan menengah akan lebih besar.
5.
Bahwa salah satu motivasi untuk mengakumulasi kekayaan, bekerja, menabung dan berinvestasi adalah agar di kemudian hari dapat mewariskan sesuatu untuk penerusnya atau keluarganya.
Sedangkan bagi para pendukungnya, pajak warisan perlu untuk diberlakukan dengan alasan-alasan sebagai berikut:

1.
Pajak warisan akan meredistribusi kekayaan dari satu individu atau keluarga (baca: dinasti) ke individu atau keluarga yang lain.
2.
Pajak warisan akan memberikan kesamaan dalam hal memperoleh kesempatan karena setiap orang akan memulai bekerja pada titik yang relatif sama, tanpa ada keistimewaan yang dinikmati oleh individu-individu tertentu yang berasal atau memperoleh transfer kekayaan dari keluarganya.
3.
Bagi individu yang berasal dari kalangan yang berpunya, warisan justru membawa dampak negatif bagi keinginan untuk bekerja atau berusaha. Dalam Millionaire Next Door, peneliti Thomas Stanley menyimpulkan bahwa warisan atau hibah dari keluarga merupakan disinsentif untuk bekerja dan juga menabung. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa semakin besar jumlah warisan atau hibah yang diterima individu, semakin sedikit yag dapat diakumulasikan, sementara mereka yang diberi warisan atau hibah lebih sedikit akan mengakumulasi lebih banyak.
4.
Mencegah seseorang untuk mengakumulasi kekayaan yang akan mengakibatkan jurang antara kaya dan miskin semakin lebar. Tidak dapat dipungkiri, kondisi sosial di Indonesia masih memandang orang berdasarkan jumlah kekayaannya. Hal ini akan menjadi masalah manakala ia mengakumulasi kekayaannya dengan jalan yang tidak benar. Dengan adanya pajak warisan ini setidaknya, negara melalui otoritas perpajakan dapat melakukan transfer kekayaan dari satu individu atau keluarga dan membaginya secara merata melalui pembangunan.
5.
Pajak warisan memastikan bahwa setiap kekayaan atau akumulasi modal dapat dipajaki setidaknya satu kali . Tingginya tingkat mobilitas modal, adanya penangguhan capital gain atas suatu aset sampai pada saat aset tersebut dijual, menyebabkan adanya pajak atas pertambahan kekayaan yang tidak pernah dikenakan pajak sama sekali.
Pajak sebagai instrumen untuk membangun kemandirian pembiayaan pembangunan, wujud kepedulian dan konstribusi warga negara terhadap negaranya, dan juga mempunyai fungsi-fungsi sosioekonomi, misalnya berperan sebagai instrumen untuk mengatur keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh warga negara serta memberikan kesempatan yang sama atau setidaknya lebih adil bagi semua individu dalam bekerja atau berusaha. Pajak warisan akan memberikan titik mulai (starting point) yang sama pada semua orang tanpa memberikan keistimewaan-keistimewaan (privileges) tertentu pada beberapa orang yang kebetulan lebih beruntung karena berasal dari keluarga yang berada pada lapisan atas piramida kekayaan di Indonesia.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas penulis beranggapan bahwa pajak warisan perlu dan dapat diterapkan oleh otoritas pajak di Indonesia dengan menitikberatkan pada fungsinya sosialnya yaitu sebagai instrumen untuk meredistribusi kekayaan selain fungsinya sebagai sumber pendapatan baru dari sektor perpajakan. Namun, setiap usaha Dirjen Pajak untuk memberlakukan suatu jenis pajak baru pasti akan menimbulkan pro dan kontra, untuk itu sebelum pajak warisan benar-benar diusulkan kembali untuk diterapkan perlu meninjau segala aspek yang berkaitan, dalam hal ini aspek menonjol yang perlu diperhatikan adalah aspek ekonomi, sosial, dan hukum. Secara ekonomi, segala jenis pajak yang diterapkan pasti akan menjadi sumber baru pembiayaan negara namun perlu juga ditelaah sejauh mana ongkos pemungutan pajak warisan ini dibanding hasil pajak yang akan diperoleh (cost against benefit), tentu saja dengan memperhatikan tingkat mobilitas kekayaan yang begitu tinggi. Jika ditinjau dari aspek sosial, harus diketahui sejauh mana pajak warisan ini akan berimbas pada efek redistribusi kekayaan tanpa menimbulkan disinsentif bagi individu untuk bekerja, menabung, dan berinvestasi. Sedangkan dari segi hukum, perlu perangkat hukum yang memadai, karena merupakan objek pajak baru di Indonesia. Perumusan yang lebih detil diperlukan mencakup definisi, tarif, dasar pengenaan dan lain-lain. Rumusan ini dapat saja mengadopsi dari peraturan perpajakan masalah warisan dari negara-negara yang sudah terlebih dahulu memberlakukannya.

Satu hal yang perlu diacungi jempol, dalam RUU PPh yang baru lalu, Dirjen Pajak telah memasukkan pajak warisan sebagai suatu objek pajak yang baru. Meskipun sudah dapat diperkirakan bahwa usulan ini akan menjadi perdebatan yang alot dan bakal ditolak untuk di-Undang-undangkan, setidaknya suatu wacana baru telah dimulai. Dan jika ke depan pajak warisan ini dianggap perlu untuk diusulkan kembali dalam perubahan UU PPh ke depan setidaknya Dirjen Pajak sudah melakukan sosialisasi dan memulai wacana penerapannya sejak saat ini.

[Pic taken from www.upload.wikimedia.org]